Ketika peradaban lain masih bertanya-tanya bagaimana menaklukkan tanah, Ibn al-Awwam, seorang ahli agrikultur Muslim dari abad ke-12 di Andalusia, telah lebih dulu menjawabnya dengan karya agungnya Kitab al-Filaha (Buku Pertanian). Karya ini bukan sekadar manual tani, melainkan ensiklopedia hidup tentang pertanian, botani, dan ilmu tanah yang merekam lebih dari 585 tanaman serta 112 penulis terdahulu. Inilah warisan yang membuktikan bahwa tanah bukan hanya tempat berpijak, tetapi juga ladang ilmu yang subur.
Dalam buku tersebut, Ibn al-Awwam tidak hanya mengumpulkan ilmu dari Yunani, Romawi, dan ilmuwan Muslim sebelumnya, tetapi juga mempraktikkannya. Ia bukan sekadar penulis teoritis, melainkan seorang praktisi ulung yang hidup bersama tanah, air, benih, dan musim. Ia meneliti irigasi, rotasi tanaman, penggemburan tanah, hingga cara membasmi hama. Baginya, pertanian adalah ilmu yang berdenyut bersama kehidupan.
Apa yang membuat Ibn al-Awwam begitu monumental adalah caranya menyambungkan ilmu dengan kemaslahatan umat. Ia tidak mengejar popularitas, tetapi kebermanfaatan. Ia menyadari, bahwa perut yang kenyang adalah prasyarat bagi akal yang sehat dan iman yang kokoh. Maka ia memilih ladang sebagai laboratoriumnya, bukan aula istana atau podium ilmiah. Kesederhanaannya justru melahirkan kemuliaan.
Banyak teknologi pertanian modern hari ini memiliki akar dari pemikiran dan praktik Ibn al-Awwam. Sistem pengairan tetes, pemupukan organik, hingga pemuliaan varietas tanaman telah lebih dulu dipikirkan dalam catatan tangannya. Dunia Barat baru menyadari pentingnya bukunya setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis pada abad ke-19. Namun, dunia Islam telah lama memetik buah dari ilmunya.
Ibn al-Awwam adalah pengingat bahwa pembangunan tidak hanya lahir dari revolusi industri, tetapi juga dari cinta kepada tanah dan keterampilan mengolahnya. Ia mengajarkan bahwa mencintai bumi adalah bentuk ibadah, dan setiap biji yang tumbuh bisa menjadi sedekah yang tak putus. Dalam setiap benih yang ditanam, tersimpan doa dan harapan akan peradaban yang lebih manusiawi.
Sayangnya, nama Ibn al-Awwam kerap luput dari buku-buku sejarah resmi. Ia tidak sehebat para jenderal, tidak sepopuler para filsuf, tapi jasanya sangat fundamental. Tanpa pangan, peradaban hanya akan menjadi bangunan rapuh. Ia adalah arsitek tak kasat mata dari kestabilan sosial dan kemakmuran umat. Ia menanam lebih dari sekadar tumbuhan; ia menanam masa depan.
Di zaman sekarang, ketika pertanian sering dianggap profesi pinggiran, Ibn al-Awwam hadir sebagai inspirasi. Bahwa menjadi petani bukanlah takdir rendah, tetapi pilihan mulia. Ia mengingatkan kita bahwa petani bukan orang biasa, melainkan penjaga ketahanan umat. Ilmunya menjadi cahaya yang membimbing langkah-langkah kita dalam menghadapi tantangan pangan global hari ini.
Lebih dari delapan abad setelah wafatnya, warisan Ibn al-Awwam tetap hidup di ladang-ladang dunia. Di setiap petani yang menanam dengan ilmu, di setiap lahan yang subur karena teknik modern yang akarnya dari masa lalu, ruhnya hadir. Ia mungkin telah tiada, namun ilmu dan teladannya terus tumbuh, hijau, dan mekar dalam peradaban manusia.
Tanpa Ibn al-Awwam, mungkin kita tak pernah melihat pertanian sebagai ilmu yang layak dihormati. Dialah penjaga gerbang ilmu bumi yang telah membuktikan bahwa peradaban tidak hanya dibangun dari langit-langit perpustakaan, tapi juga dari lumpur, benih, dan matahari yang menimpa daun-daun penuh harap.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.