Pernahkah kita merenung, bahwa tidak semua yang kita minta akan serta-merta kita terima? Seperti seorang anak yang merajuk pada ibunya, kita pun seringkali mendesak langit dengan deretan doa yang panjang. Tapi langit tak selalu menjawab cepat, bukan karena ia tuli, tapi karena ia bijaksana.
Tatkala seseorang datang kepada kita dan meminta sesuatu, naluri pertama kita bukanlah langsung memberi. Kita bertanya: "Untuk apa? Seberapa butuh engkau akan ini?" Dan dari jawabannya, kita mengukur niat dan kebutuhannya. Kita menimbang, tidak hanya dari logika, tapi juga dari hati. Lalu kita memutuskan: memberi atau menunda.
Bukankah Tuhan pun demikian? Dalam kebijaksanaan-Nya yang tanpa batas, Ia mendengarkan setiap rintihan yang keluar dari bibir kita. Namun tak semua dikabulkan segera, sebab Tuhan tahu: tidak semua yang kita minta adalah yang benar-benar kita butuh. Tidak semua yang kita inginkan adalah yang terbaik untuk kita.
Barangkali, ada doa yang belum dijawab bukan karena Tuhan tak peduli, melainkan karena alasan kita belum cukup kuat. Niat kita masih samar, keinginan kita masih kabur, dan kebutuhan kita belum sungguh nyata. Maka Tuhan, dalam kasih-Nya yang sempurna, menunda agar kita belajar memahami diri sendiri.
Seperti seorang ayah yang menyimpan sepeda impian anaknya hingga ia benar-benar bisa menjaga keseimbangan, demikian pula Tuhan menyimpan jawaban doa kita. Ia menunggu hingga hati kita dewasa, hingga alasan kita tidak lagi egois, dan hingga kebutuhan itu tumbuh dari kesadaran, bukan sekadar keinginan.
Dan sungguh, betapa banyak dari kita yang tak sabar. Kita merasa do'a kita diabaikan, padahal kita sendiri belum jujur dalam meminta. Kita ingin sesuatu, tapi tak tahu mengapa. Kita mendamba seseorang, tapi tak paham untuk apa. Kita bermimpi tinggi, tapi tak siap menanggung tanggung jawabnya.
Tuhan, dalam diam-Nya, sedang menunggu kita kembali merenungi: apakah yang kita minta itu benar-benar untuk kebaikan, atau hanya pelarian dari luka yang belum sembuh? Apakah doa-doa kita adalah ungkapan cinta, atau sekadar daftar belanja yang kita paksa langit untuk penuhi?
Maka, mungkin bukan langit yang perlu kita desak, melainkan hati kita sendiri yang harus kita selami. Kita harus bertanya dengan jujur: "Mengapa aku menginginkannya? Apa yang akan aku lakukan jika aku memilikinya? Apakah aku siap?"
Sebab, jika alasan kita jernih, jika kebutuhan kita nyata, dan jika kita benar-benar siap menanggung jawabnya, langit akan terbuka. Bahkan, terkadang sebelum kita sempat berucap. Karena Tuhan tahu isi hati yang tulus, bahkan sebelum doa itu dilafalkan.
Jadi, bila ada doa yang belum terkabul, jangan langsung kecewa. Mungkin, itu bukan penolakan, tapi bentuk kasih yang paling lembut: sebuah pelukan tak terlihat yang berkata, “Belum, anak-Ku. Belum waktunya. Tapi teruslah tumbuh. Teruslah belajar. Aku mendengarmu.”
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.