Idul Adha adalah puisi sunyi Ibrahim, di mana cinta tertinggi lahir dari pisau yang tak melukai, dari air mata yang menjelma langit, dan dari relamu yang jadi jalan pulang kepada-Nya. Pada pagi yang sujudnya begitu panjang, kita mengenang langkah-langkah Ibrahim yang berat, namun tak ragu. Ia berjalan bukan hanya dengan tubuhnya, tapi dengan hati yang terjalin rapat pada titah Ilahi. Di atas tanah yang lapang, ia ajarkan pada kita, bahwa cinta sejati bukan tentang memiliki, tapi merelakan demi yang Maha Memiliki.
Ismail tak hanya seorang anak, ia adalah belahan jiwa, anugerah yang lama dinanti, cahaya yang dipintakan dalam tiap doa. Namun pada hari itu, langit meminta yang paling dicintai untuk dikembalikan. Dan Ibrahim menjawab bukan dengan tangis, melainkan dengan takzim “Jika ini jalan-Mu, maka ambillah segalanya, termasuk bahagiaku.”
Tapi pisau itu pun bergetar, tak kuasa menggores daging yang tulus. Ia menangis, sebab ia tahu, tak ada yang bisa melukai orang yang telah sepenuh hati berserah. Maka Allah pun menjawab, bahwa pengorbanan yang sejati bukan pada darah yang tertumpah, tapi pada niat yang terpatri dalam keikhlasan yang paling dalam.
Idul Adha mengajari kita tentang makna pulang, bukan ke rumah, bukan ke tanah air, tapi ke hati yang telah jernih dari dunia. Pulang pada cinta yang tak menuntut balasan, pada sabar yang tak bersuara, pada pasrah yang tak mengeluh. Ia adalah rumah bagi jiwa yang ingin tenang.
Ada jenis luka yang tak berdarah, namun terasa sampai ke relung jiwa. Dan pengorbanan sering kali sunyi, tak terlihat, tak disanjung, hanya dikenal oleh langit. Namun di sanalah Allah menyematkan rahmat-Nya, bagi mereka yang diam-diam mencintai-Nya lebih dari segalanya.
Dalam setiap hewan kurban yang ditundukkan, kita lihat bayangan diri. Ego yang keras, nafsu yang liar, ambisi yang menjauhkan kita dari makna hidup. Dan saat pisau menyentuh lehernya, semoga kita pun belajar menyembelih kesombongan kita, agar jiwa ini kembali lembut, kembali sujud.
Idul Adha bukan hanya tentang daging dan darah, tapi tentang mengenal kembali siapa kita, dan kepada siapa kita akan kembali. Ia mengajak kita memandang hidup dari tempat yang lebih tinggi, tempat di mana kehilangan adalah bentuk lain dari penyucian.
Setiap takbir yang kita lantunkan adalah pengakuan bahwa kita bukan pemilik apapun. Harta, jabatan, bahkan anak-anak kita bukan milik kita, mereka hanya titipan yang bisa diminta kembali kapan saja. Dan saat itu tiba, hanya keikhlasan yang akan membuat kita tetap utuh.
Mari kita jadikan hari ini bukan hanya hari raya, tapi hari merenung Sudahkah kita benar-benar ikhlas? Sudahkah cinta kita pada Allah melampaui cinta pada dunia? Dan jika suatu hari kita diminta melepaskan, sudahkah kita siap menjawab, sebagaimana Ibrahim menjawab "Ya Rabb, ambillah, jika itu membuatku lebih dekat pada-Mu."
Selamat Hari Raya Idul Adha. Semoga momentum qurban tak hanya menyucikan tubuh, tapi juga hati. Semoga sunyi Ibrahim menjadi gema dalam jiwa kita, mengingatkan bahwa cinta yang tertinggi bukan yang menggenggam erat, tapi yang melepaskan dengan percaya bahwa semua yang diberikan kepada Allah, pasti akan kembali, dalam bentuk yang lebih indah.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.