Di tengah hingar-bingar dunia digital, kita terperangkap dalam pelukan dingin sebuah benda kecil bernama handphone. Ia menyala setiap saat, berbunyi setiap waktu, dan kita seolah selalu terpanggil untuk menengoknya, menyentuhnya, dan menuruti setiap bisik rayunya. Dalam genggaman, ia terasa ringan, namun dalam jiwa, ia bisa menjadi beban yang membutakan arah.
Kita duduk berjam-jam menatap layar, jari-jari menari tanpa jeda, menyusuri lorong tak berujung dari notifikasi, video, dan pesan-pesan fana. Waktu mengalir begitu cepat, dan tanpa sadar, kita telah menukar hening yang khusyuk dengan riuh yang kosong. Kita sibuk mengejar kabar dunia, tapi lalai akan panggilan dari langit.
Al-Qur’an, yang seharusnya menjadi cahaya dalam gelapnya zaman, kini tergeletak sunyi di rak-rak tinggi. Ia menunggu, sabar dalam diam, tak pernah memaksa, tak pernah mengeluh. Padahal, di dalamnya terkandung petunjuk, ketenangan, dan jawaban atas kegelisahan yang sering kita sembunyikan di balik senyum palsu.
Laksana peta bagi musafir yang tersesat, Al-Qur’an adalah navigasi hati yang tak akan pernah salah arah. Namun betapa ironis, kita lebih percaya pada GPS yang terkoneksi dengan satelit, ketimbang wahyu yang terkoneksi dengan Ilahi. Kita lupa, dunia ini bukan tujuan akhir, hanya persinggahan sebentar sebelum pulang.
Ada ribuan ayat yang belum kita jamah, jutaan hikmah yang belum kita gali. Tapi mata kita lebih terlatih membaca status orang lain daripada tadabbur ayat-ayat Tuhan. Kita bisa menangis karena drama di layar, namun tak tergugah oleh peringatan dari Sang Pencipta. Kita tertawa karena candaan digital, tapi membisu di hadapan kalam suci.
Bukankah seharusnya kita merasa rindu? Rindu pada ketenangan yang datang saat membaca Al-Qur’an, rindu pada kedamaian yang mengalir dari setiap ayat. Tapi kenapa rindu itu begitu mahal? Apakah karena hati kita terlalu bising oleh dunia, sehingga tak lagi peka terhadap panggilan langit?
Waktu yang kita curahkan untuk dunia maya, mungkin tak sepenuhnya salah. Namun jika ia menyita ruang untuk akhirat, bukankah itu kerugian yang nyata? Bukan berarti kita harus menolak teknologi, tapi jangan sampai teknologi mengubur spiritualitas kita, perlahan, tanpa kita sadari.
Mari kita kembali. Meskipun perlahan, asal istiqamah. Luangkan satu menit untuk satu ayat. Biarkan huruf-huruf suci itu masuk ke dalam jiwa, membersihkan luka, menentramkan gulana. Tak perlu menunggu sempurna untuk memulai, karena yang Maha Suci mencintai langkah kecil yang tulus.
Di antara layar-layar biru, mari kita buka mushaf. Di sela notifikasi yang tak henti, mari kita jawab satu notifikasi dari Tuhan. Bacalah. Karena sesungguhnya membaca Al-Qur’an bukan hanya membaca huruf, tetapi membaca hidup, membaca makna, dan membaca jalan pulang.
Kelak, ketika dunia ini berakhir dan segala notifikasi tak lagi berbunyi, hanya ayat-ayat itulah yang akan bersaksi. Apakah kita mengenalnya? Ataukah kita asing di hadapannya? Jangan biarkan kita menjadi generasi yang akrab dengan dunia, namun asing dengan Kalam-Nya. Karena sesungguhnya, sebaik-baik teman perjalanan adalah Al-Qur’an, bukan handphone.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.