Masjid, rumah Allah yang suci, seharusnya menjadi pelukan pertama bagi jiwa-jiwa kecil yang sedang tumbuh. Tempat di mana tawa anak-anak bergema bukan sebagai gangguan, tapi sebagai harapan. Di sinilah seharusnya mereka mengenal kasih sayang Tuhan, melalui lantai dingin yang menyambut kaki mungil, melalui senyuman jamaah yang melihat mereka sebagai titipan, bukan beban.
Namun kini, betapa sering kita menyaksikan wajah-wajah kecil yang tertunduk. Bukan karena khusyuk, melainkan karena takut. Takut dimarahi, takut diusir, takut dianggap tak pantas. Masjid yang mestinya menjadi tempat berlindung, berubah menjadi ruang asing yang menolak kehadiran mereka.
Padahal, anak-anak itu bukan gangguan. Mereka adalah benih masa depan. Suara mereka yang nyaring, langkah mereka yang tak tenang, itu bukan huru-hara. Itu kehidupan. Itu getar cinta yang sedang mencari arah—arah yang seharusnya dipandu oleh cahaya masjid, bukan dihindarkan darinya.
Kita lupa bahwa Rasulullah saw. begitu lembut pada anak-anak. Di masjid, beliau membiarkan cucunya menaiki punggung saat sujud. Beliau tak terganggu, karena yang besar tak terguncang oleh riak kecil. Justru beliau mengajarkan, bahwa cinta lebih utama dari ketertiban semu.
Mengapa kini kita lebih cepat mengerutkan dahi daripada membukakan hati? Mengapa kita membiarkan marah menjadi warisan, padahal kita punya kasih sebagai pusaka? Anak-anak bukan ujian kesabaran, mereka adalah cermin siapa kita sebenarnya: apakah kita pewaris kelembutan Nabi, atau hanya penjaga kesunyian?
Jika masjid hanya sunyi dan rapi, namun kehilangan tawa anak-anak, maka ia sedang sekarat dalam keindahan palsu. Sebab ruh masjid tak hanya hidup dalam lantunan ayat, tapi juga dalam semangat generasi yang belajar mencintai tempat itu sejak dini.
Bayangkan seorang anak yang pernah dihardik karena tertawa di masjid. Mungkinkah kelak ia ingin kembali? Mungkinkah ia mencintai rumah Tuhan jika dulu ia diusir dari pelataran-Nya? Dan jika ia menjauh, kepada siapa kita harus bertanya?
Kita tak sedang membela kenakalan. Tapi kita sedang merindukan kebijaksanaan. Bukankah lebih baik kita mendekap mereka, daripada membiarkan mereka mencari tempat lain untuk berlari? Bukankah lebih baik masjid menjadi taman bermain iman, daripada hutan sunyi tanpa tunas kehidupan?
Mari kita ubah wajah masjid. Bukan hanya dengan marmer dan megahnya lampu gantung, tapi dengan hati yang luas, telinga yang mendengar, dan tangan yang mengelus. Biarlah anak-anak tahu bahwa masjid adalah rumah mereka juga, tempat mereka ditunggu, bukan dicurigai.
Sebab mencintai anak-anak di masjid, adalah bentuk kita mencintai masa depan agama ini. Kita tak hanya membangun masjid, tapi juga membangun manusia. Dan manusia yang mencintai masjid sejak kecil, akan menjadi penjaga cahaya di kemudian hari. Bukan karena dia dipaksa, tapi karena dia pernah dipeluk oleh cinta dari rumah Tuhan.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.