Setelah sujud yang menggetarkan jiwa, manusia bangkit… tapi tak langsung berdiri. Ia duduk. Sebuah jeda lembut di antara dua kepasrahan. Duduk antara dua sujud bukan hanya transisi gerakan, tapi ruang rahmat di mana hamba diberi kesempatan untuk bernapas dalam harap. Di sinilah tubuh berhenti sejenak, dan hati berbicara tanpa ragu.
Posisi duduk itu bukan kehormatan, tapi kelembutan. Seperti anak kecil yang duduk di pangkuan ibunya, penuh harap dan malu. Tubuh tak lagi menunduk, tapi juga belum berdiri. Ia di antara: antara jatuh dan bangkit, antara hancur dan pulih, antara dosa dan ampunan. Maka tak heran jika dalam posisi ini, doa-doa terbaik sering lahir dari hati yang retak.
“Rabbighfirli…”
Kalimat pertama yang keluar adalah permohonan ampun. Bukan pujian, bukan permintaan dunia, tapi pengakuan yang jujur bahwa diri ini tak luput dari salah. Hamba tak menuntut apa-apa dulu. Ia hanya ingin dimaafkan. Sebab bagaimana mungkin meminta rezeki, jika luka hatinya masih penuh dosa?
“Warhamni…”
Setelah ampunan, barulah hamba meminta kasih. Karena tahu, sekalipun telah diampuni, ia tetap lemah, tetap rapuh, tetap butuh pelukan-Nya. Rahmat bukan hanya penghapus dosa, tapi juga selimut yang menghangatkan hati yang beku. Dalam “warhamni”, tersimpan rindu yang tak terucapkan: rindu untuk dicintai tanpa syarat.
“Wajburni…”
Betapa indahnya permintaan ini. Ya Allah, tutuplah retak-retak jiwaku. Perbaikilah bagian-bagian yang patah. “Wajburni” adalah jeritan dari mereka yang hidupnya tak utuh, yang hatinya bocor karena kecewa, yang langkahnya pincang karena beban. Duduk ini menjadi ruang penyembuhan. Bukan hanya tubuh, tapi hidup.
“Warfa’ni…”
Setelah meminta ditambal, hamba baru meminta untuk diangkat. Tapi bukan diangkat dalam gengsi, melainkan dalam derajat yang hakiki: kedekatan dengan-Nya. Sebab hamba tahu, tak ada ketinggian yang lebih agung daripada berada dekat di sisi-Nya, bahkan jika dunia menilainya rendah. Ini adalah permintaan untuk dimuliakan oleh cinta, bukan pujian manusia.
“Warzuqni…”
Rezeki diminta bukan karena tamak, tapi karena tahu hanya Allah yang bisa memberi tanpa menyakiti. Hamba tak minta berlebih, hanya cukup, cukup untuk bertahan, cukup untuk berbagi, cukup agar tak lupa bersyukur. Duduk ini adalah bentuk kerendahan diri yang tahu di mana pintu pemberian berada.
“Wahdini…”
Apa gunanya rezeki, jika langkah tak tahu arah? Maka dalam duduk ini, hamba juga minta dituntun. Hidup terlalu gelap tanpa cahaya dari-Nya. Petunjuk bukan hanya soal jalan hidup, tapi juga cara mencintai, cara memaafkan, cara tetap berdiri saat dunia menyuruh kita rebah.
“Wa ‘aafini… wa’fu ‘anni…”
Seakan doa itu ditutup dengan pelukan. Sehatkan aku, ya Rabb, dan maafkan aku. Sehat bukan hanya untuk tubuh, tapi juga pikiran dan jiwa. Maaf bukan hanya atas dosa, tapi juga atas kelalaian, atas waktu yang terbuang, atas cinta yang salah tempat. Semua itu dibisikkan dalam duduk yang sunyi, namun penuh cahaya.
Duduk antara dua sujud adalah miniatur hidup. Kita pernah jatuh, lalu duduk merenung, menangis, meminta, dan akhirnya siap untuk sujud lagi. Begitulah hidup: luka, lalu doa, lalu pasrah kembali. Maka jangan remehkan duduk ini. Ia adalah momen paling manusiawi dalam salat, di mana hamba bukan sekadar menyembah, tapi juga memohon untuk diampuni, dicintai, diperbaiki, dituntun, dan dibawa pulang dengan hati yang utuh.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.