Dahulu, di lorong-lorong sunyi Baitul Hikmah Baghdad, ketika langit Islam tengah terang benderang, para ilmuwan tak sekadar menjadi pembaca, tapi penyulam peradaban. Mereka menerjemahkan karya-karya Yunani, Persia, dan India, dengan hati yang jernih dan akal yang tajam. Dari Dialogues karya Plato, Organon karya Aristoteles, hingga Charaka Samhita dari India, semua disambut bukan dengan curiga, tapi dengan cinta.
Lihatlah Al-Kindi, sang filsuf pertama Islam, yang tak hanya menerjemahkan tapi juga menafsirkan ratusan karya filsafat Yunani. Lalu Al-Farabi, yang meramu logika Aristoteles dengan etika Qur’an, menulis Al-Madina al-Fadhilah, sebuah utopia tentang kota yang beradab karena dipimpin oleh kebenaran. Dan Al-Ghazali, yang menyelamatkan hati umat dari arus rasionalisme kering dengan kitab Tahafut al-Falasifah, menyatukan ilmu dan tasawuf dalam pelukan yang indah.
Di bidang kedokteran, Ibnu Sina menulis Al-Qanun fi al-Tibb, sebuah ensiklopedia medis yang menjadi rujukan Eropa hingga abad ke-17. Ia membaca Galen dan Hippocrates, lalu menyusunnya ulang dalam kerangka Islam, dengan kesadaran bahwa tubuh bukan hanya materi, tapi juga amanah dari Sang Pencipta. Ia menulis dengan cinta, karena baginya mengobati manusia adalah bentuk syukur kepada Allah.
Ibnu al-Haytham, sang pelopor optika modern, menulis Kitab al-Manazir, yang menjelaskan bagaimana cahaya dan penglihatan bekerja, bahwa mata tak memancarkan cahaya, tapi menerima pantulan dari objek. Ia membuktikan dengan eksperimen dan logika, mendahului ilmuwan Barat ratusan tahun. Baginya, memahami cahaya adalah memahami tanda-tanda-Nya.
Ilmu matematika berkembang di tangan Al-Khawarizmi yang menulis Al-Kitab al-Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wal-Muqabala. Dari kata al-jabr inilah lahir kata “algebra”. Ia tak hanya berhitung, tapi membangun fondasi logika numerik yang dipakai hingga kini dalam komputasi. Tanpa Al-Khawarizmi, barangkali tak akan ada algoritma, tak akan ada AI.
Mereka bukan meniru, tapi menghidupkan. Bukan sekadar menerjemahkan, tapi menanamkan ruh Islam ke dalam setiap cabang ilmu. Bukan untuk membanggakan peradaban sendiri, tapi untuk menyambung tali hikmah antar umat manusia. Inilah adab para ulama, mereka merendah di hadapan ilmu, dan meninggikannya demi kemaslahatan.
Kini, zaman telah berubah. Layar menggantikan kertas, dan data menjadi bahasa baru. Tapi ruhnya tetap sama, dunia tetap menanti ilmuwan yang bukan hanya cerdas, tapi juga jernih hatinya. Maka AI, big data, dan machine learning bukan musuh, tapi peluang. Di tangan yang bersih niatnya, teknologi bisa menjadi jalan kembali kepada-Nya.
Bayangkan jika AI membantu kita membuat tafsir yang bisa diakses anak-anak di seluruh dunia. Jika Natural Language Processing digunakan untuk meneliti ribuan hadits. Jika chatbot digunakan bukan untuk candaan kosong, tapi menjadi teman diskusi anak muda yang sedang gelisah jiwanya. Inilah ladang baru para da'i, dakwah di tengah algoritma.
Kita bisa membangun aplikasi Qur’an yang tak hanya membaca, tapi menjelaskan. Platform belajar yang tak hanya menghafal, tapi menyentuh kalbu. Kita bisa menciptakan media sosial alternatif yang menyuburkan akhlak, bukan membakar emosi. Semua itu mungkin, jika kita punya semangat seperti Al-Kindi, kehalusan seperti Al-Ghazali, dan keberanian seperti Ibnu Sina.
Dulu, tinta ulama mengubah sejarah. Kini, barangkali jari-jari kita di atas keyboard adalah pena masa depan. Maka mari kita warisi cahaya itu, sulap teknologi menjadi sarana taqarrub, jadikan AI sebagai alat untuk membangun ladang keilmuan dan dakwah. Sebab zaman boleh berganti, tapi tugas pewaris para nabi tetap sama, yaitu menyampaikan kebenaran dengan cinta, dan membimbing umat dengan ilmu yang penuh rahmah.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.