Dalam sejarah peradaban Islam, Al-Biruni adalah cerminan dari seorang pencari kebenaran sejati yang tak mengenal batas. Ia tak sekadar seorang ahli astronomi atau fisikawan. Ia adalah ensiklopedia berjalan yang menjelajahi lintas disiplin dengan rasa ingin tahu yang luar biasa. Geografi, matematika, farmasi, linguistik, hingga antropologi, semua ia pelajari bukan untuk gelar, tetapi untuk mendekat kepada hakikat ilmu dan ciptaan Tuhan.
Lahir di Khwarezm (kini wilayah Uzbekistan) pada tahun 973 M, Al-Biruni tumbuh di lingkungan yang merangsang intelektualitas. Ia tidak membatasi diri pada satu guru atau satu kitab. Ia haus akan perbandingan: antara budaya, bahasa, bahkan agama. Tak heran jika karyanya yang terkenal, Tahqiq ma li-l-Hind, menggambarkan India dengan begitu objektif dan hormat, suatu pendekatan yang mendahului prinsip antropologi modern berabad-abad.
Salah satu pencapaian Al-Biruni yang menakjubkan adalah kemampuannya menghitung radius dan keliling bumi dengan presisi luar biasa, bahkan tanpa satelit. Dengan hanya menggunakan pengamatan dari puncak gunung dan prinsip trigonometri, ia sampai pada hasil yang hanya selisih beberapa kilometer dari hasil perhitungan modern. Ini bukan sekadar prestasi teknis, ini adalah bukti bahwa akal manusia yang terlatih bisa menembus batas langit dan bumi.
Ia juga dikenal sebagai pelopor dalam ilmu geologi dan geodesi. Ia menduga bahwa daratan dahulu tertutup air dan perubahan geologis butuh waktu panjang, pandangan ini mendahului teori modern tentang lempeng tektonik dan evolusi bumi. Ia menulis bahwa alam semesta tunduk pada hukum yang bisa dipahami, bukan sekadar kebetulan atau takhayul.
Al-Biruni hidup dalam suasana di mana ilmu bukan hanya untuk "digunakan", tetapi untuk dipahami secara mendalam, sebagai cara mengenal Tuhan melalui ciptaan-Nya. Ilmu bukanlah alat dominasi, tapi jembatan kontemplasi. Ia tidak memisahkan iman dan rasio, tapi justru meletakkan keduanya berdampingan, saling menguatkan, saling mengarahkan.
Di zaman kita yang serba instan, Al-Biruni mengajarkan makna dari kedalaman, ketekunan, dan keterbukaan. Ia membaca bukan untuk membenarkan pendapatnya, tapi untuk memahami dunia. Ia tidak takut menyelami budaya asing, sebab ia percaya bahwa setiap peradaban menyimpan hikmah yang layak dihormati.
Refleksi dari hidupnya sangat relevan hari ini bahwa ilmu yang agung lahir dari kerendahan hati, bukan dari arogansi pengetahuan. Al-Biruni tidak sibuk mengejar gelar, tetapi sibuk menggali makna. Ia menulis lebih dari 100 karya dalam berbagai bidang, banyak di antaranya menjadi rujukan ilmiah berabad-abad lamanya.
Betapa besar jasanya, namun betapa rendah hatinya. Ia bahkan pernah berkata, “Saya tidak malu untuk belajar dari siapa pun, bahkan dari seorang anak kecil.” Ucapan ini bukan sekadar kutipan inspiratif, tapi cermin jiwanya, jiwa seorang ilmuwan sejati.
Hari ini, ketika kita berbicara tentang integrasi sains dan iman, tentang globalisasi, tentang toleransi budaya, Al-Biruni hadir sebagai contoh hidup. Ia bukan hanya milik sejarah Islam, tapi milik seluruh umat manusia. Ia mengingatkan kita bahwa pengetahuan yang murni akan selalu mencari cahaya, dan cahaya itu hanya bersinar dalam hati yang jujur.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.