Dulu aku haus akan cerita yang bukan milikku. Aku ingin tahu siapa yang bahagia, siapa yang diam-diam terluka, siapa yang jatuh cinta tanpa suara, dan siapa yang pura-pura kuat padahal jiwanya retak setiap malam. Aku sibuk meraba jejak orang lain, sampai lupa bahwa jiwaku sendiri belum sempat aku peluk dengan sungguh-sungguh.
Tapi waktu, dengan segala luka dan pelajarannya, mengajarkanku bahwa tidak semua harus aku tahu. Ada kenikmatan yang dalam saat aku mulai melepaskan rasa ingin tahu itu. Bukan karena tak peduli, tapi karena akhirnya aku belajar bahwa kedamaian seringkali tumbuh di balik ketidaktahuan yang bijaksana.
Kini aku lebih senang menyendiri dalam keheningan yang tenang. Aku tak lagi mengintip jendela kehidupan orang lain, tak lagi bertanya-tanya siapa mencintai siapa, siapa membenci siapa, karena semua itu tak menambah damai di hatiku, bahkan sering kali malah mencuri tenang yang telah susah payah kutata.
Aku tak perlu tahu rahasia orang lain untuk merasa utuh. Tidak tertarik menguliti luka yang bukan milikku. Aku memilih menjaga jarak yang sehat, bukan karena sombong atau merasa lebih suci, tapi karena aku mulai mencintai diriku dengan cara yang lebih lembut dan jujur.
Perlahan, aku jatuh cinta pada sunyi yang tak memaksa, pada langkah-langkah kecil yang membawa aku lebih dekat dengan diriku sendiri. Tak ada penonton, tak ada sorak sorai, hanya aku dan perjalanan batinku. Ada ketenangan yang manis ketika hidup tak lagi ku ukur, dari apa yang terlihat di mata orang lain.
Aku belajar bahwa memperbaiki diri adalah jalan yang paling panjang, paling sunyi, tapi paling indah. Tak ada peta pasti, tak ada tepuk tangan, namun ada cahaya kecil yang terus menyala di dada, menuntunku pulang ke dalam, tempat segala luka dimengerti dan dirawat dengan sabar.
Aku tak lagi ingin jadi hakim atas hidup siapa pun. Tak ingin mengira-ngira motif dan pilihan orang lain. Karena setiap orang sedang berjuang dalam perang yang tak kuasa kubayangkan, dan itu cukup aku hormati, bukan aku hakimi. Doa yang diam lebih tulus daripada pandangan yang tajam.
Hidup ini terlalu singkat untuk terus sibuk mengurus halaman orang, sementara taman jiwaku sendiri belum sempat kuairi. Lebih baik aku memeluk kekuranganku, memaafkan kegagalan yang kerap aku sembunyikan, dan mencintai hidupku, walau sederhana, tapi nyata.
Ada kelegaan saat aku berhenti membandingkan, berhenti ingin ikut dalam perlombaan yang bukan milikku. Aku mulai mengerti bahwa hidup bukan tentang siapa yang lebih cepat, tapi siapa yang lebih damai saat melangkah. Dan damai itu lahir dari hati yang cukup pada diri sendiri.
Kini, aku memilih hidup yang tenang, bukan yang gemerlap. Hidup yang tahu arah, meski jalannya pelan. Hidup yang dipenuhi syukur, bukan iri. Dan di tengah dunia yang penuh kegaduhan, aku menemukan karunia paling indah, yaitu tidak tahu apa-apa tentang orang lain, tapi mengenal diriku sendiri sepenuhnya.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd