Bayangkan seorang pemuda bertopi jerami, berdiri menantang angin laut yang menggila. Ia tak membawa pedang, tak punya peta yang pasti, hanya keyakinan yang tumbuh dari dalam dada. Namanya Luffy. Mimpinya tak sederhana menjadi Raja Bajak Laut, pemimpin di lautan kebebasan. Tapi yang paling berharga bukanlah kekuatan Buah Iblis yang mengalir di tubuhnya, melainkan hati-hati yang berlayar bersamanya.
Setiap kali dunia meremukkannya, tangan sahabat-sahabatnya yang lebih dulu terulur. Zoro yang bersumpah tak akan kalah, Nami yang mengatasi badai dengan arah, Sanji yang bertarung demi kehormatan, dan Usopp yang berdusta demi keberanian. Mereka bukan pengikut, tapi jiwa-jiwa yang memilih percaya. Karena mereka tahu, di balik senyum bodoh Luffy, tersembunyi tekad yang tak bisa dibengkokkan.
Lalu mari kita lihat ke sejarah yang nyata, ke tanah yang lebih suci dari seluruh samudra. Seorang manusia bernama Muhammad, SAW, memulai risalah agung dengan langkah yang sepi. Di hadapannya berdiri bangsa yang membeku dalam tradisi, membatu dalam kezaliman. Tapi beliau datang membawa cahaya, dengan kasih, kelembutan, dan kalimat yang menusuk langit.
Namun beliau pun tak sendiri. Di sisinya ada Abu Bakar yang rela memberikan segalanya, Umar yang tegas dalam keadilan, Utsman yang dermawan dalam diam, dan Ali yang setia seperti bayangan yang tak pernah meninggalkan. Mereka bukan hanya sahabat, tapi penyangga wahyu, penjaga mimpi kenabian yang disematkan oleh Tuhan.
Zoro berdiri menanggung luka yang bukan miliknya tanpa suara, tanpa keluhan. “Tidak terjadi apa-apa,” katanya. Tapi tubuhnya berkata lain, berdarah tanpa kisah. Sama seperti Ali, yang tidur di ranjang Rasul demi menipu kematian. Keduanya mengajarkan bahwa cinta sejati adalah pengorbanan yang tak perlu dipamerkan, hanya perlu dilakukan.
Dua dunia ini, satu fiksi, satu hakikat, menyatu dalam pesan yang tak lekang: kekuatan sejati adalah kesetiaan. Pemimpin hebat bukan yang berjalan paling depan dalam kesendirian, tetapi yang dikelilingi oleh jiwa-jiwa yang rela berdiri di sampingnya, dalam panas, dingin, dan luka yang tak terlihat.
Luffy tak pernah memaksa siapa pun mengikutinya. Mereka memilihnya. Karena ia memimpin bukan dengan teriakan, tapi dengan hati. Rasulullah pun demikian. Ia tidak membangun pasukan dengan paksaan, tapi dengan cinta. Mereka yang bersamanya tidak hanya tunduk pada perintah, tapi jatuh cinta pada kebenaran yang ia bawa.
Ada waktu ketika langit gelap dan bahaya mengintai dari segala penjuru. Saat itu, Luffy tetap melangkah, bukan karena ia tidak takut, tapi karena ia tahu ada kru yang mempercayainya. Dan Rasulullah tetap menyebar cahaya, meski diancam, dicaci, bahkan dilukai. Karena ia tahu, sahabat-sahabatnya adalah lentera-lentera kecil yang menjaga nyala dakwah.
Di antara kapal dan padang pasir, antara Grand Line dan Gua Tsur, kita diajak merenung: siapakah sahabat sejati? Mereka yang hadir bukan saat gemilang tiba, tetapi saat luka datang bertubi-tubi. Mereka yang berdiri bukan di belakang, tapi di sisi tanpa ragu, tanpa pamrih.
Karena pada akhirnya, kekuatan bukan hanya perkara otot atau senjata, tetapi tentang siapa yang berjalan bersama kita. Luffy dan Rasulullah dua tokoh di dua dunia menunjukkan bahwa kehebatan tidak pernah lahir sendirian. Ia tumbuh dalam pelukan persahabatan. Dalam keyakinan. Dalam cinta yang berani berkorban tanpa syarat.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.