Ada yang berubah setelah ijab diucapkan, setelah tangan digenggam dalam satu ikatan. Seorang wanita kini bukan lagi hanya anak dari ayahnya, tapi telah menjadi belahan jiwa bagi seorang pria. Tapi di tengah derasnya arus kehidupan, tak sedikit yang melupakan betapa mulianya posisi seorang suami di sisi seorang istri. Ia menjadi tanda, jalan, bahkan jembatan, bagi rida Allah yang menjanjikan surga di balik kerelaannya.
Waktu yang dahulu dilimpahkan penuh kasih, kini pelan-pelan terkikis oleh rutinitas. Suami yang dulu dielu-elukan, perlahan dianggap biasa. Ucapannya tak lagi ditunggu, kehadirannya tak lagi disambut seperti dulu. Banyak istri yang tak sadar, bahwa mengabaikan suami bukan hanya luka bagi perasaan, tapi celah yang bisa membuat keberkahan rumah tangga luntur.
Cinta, ketika tidak dirawat, akan layu. Rasa hormat, ketika tidak dijaga, akan memudar. Dan di balik diamnya seorang suami, kadang tersembunyi luka yang dalam, tertahan oleh tanggung jawab dan kesabaran. Istri yang bijak akan membaca bahasa tanpa kata, memahami duka dalam senyum, dan mencintai bukan hanya saat senang, tapi juga ketika dunia menghimpit.
Ada istri yang merasa cukup menjadi baik sebagai ibu, tapi lupa menjadi penyejuk bagi hati suaminya. Rumah memang tempat pulang, tapi apakah masih menjadi tempat berlabuh ketika pelabuhan tak lagi hangat? Seorang pria bisa menanggung beban dunia, tapi ia rapuh ketika rumah tak lagi menjadi tempat ia dihargai.
Meremehkan suami bukan hanya soal nada tinggi dalam bicara, atau tatapan dingin saat kecewa. Tapi juga ketika doa tak lagi menyebut namanya dengan harap, ketika hati tak lagi menyandarkan keputusan pada musyawarah bersamanya. Padahal, dalam ridanya, terkandung kunci pembuka surga yang tak bisa digantikan oleh apa pun di dunia.
Bukan berarti wanita harus tunduk membabi buta, atau membiarkan dirinya kehilangan harga diri. Tapi dalam kelembutan dan hormatnya kepada suami, terpancar kecantikan yang tak bisa dibeli. Kehormatan seorang istri justru semakin tinggi saat ia tahu menempatkan suaminya sebagai imam dalam rumah yang ingin diberkahi.
Istri yang kuat bukan yang melawan suami dalam setiap hal, tapi yang mampu mendampingi dengan bijak, menegur dengan lembut, dan bersikap tegas tanpa menyakitkan. Karena cinta sejati bukan tentang menang atau kalah, tapi tentang bertumbuh bersama dalam ridha Allah, meski kadang harus menundukkan ego dan rasa.
Bayangkan jika setiap malam sebelum tidur, istri memandang suaminya dan bertanya, “Apakah aku sudah menjadi tempat yang damai bagimu hari ini?” Kalimat sederhana, tapi bisa meruntuhkan lelah yang menumpuk di pundaknya. Karena lelaki pun butuh dicintai, dihargai, dan didengar meski sering kali mereka terlalu diam untuk memintanya.
Suami bukanlah makhluk sempurna, pun demikian istri. Tapi ketika keduanya saling menghormati dan tidak saling meremehkan, rumah akan menjadi sakinah tenang, bukan karena tanpa badai, tapi karena dua hati saling menjadi tempat berteduh. Dan wanita, ketika mampu merawat cintanya dengan akhlak dan kelembutan, maka surga akan mengintip dari balik pintu rumahnya.
Jangan tunggu semuanya terlambat. Jangan biarkan penyesalan menjadi guru setelah kehilangan. Selagi nafas masih bersambut, selagi senyum suami masih bisa terlihat, bahagiakan dia. Karena dalam ridanya, tersimpan ridha Allah. Dan dalam ridha Allah, terbentang jalan menuju surga yang tak ternilai.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.