Di antara debur waktu yang sering melupakan jasa perempuan, berdirilah nama Fatimah al-Fihri sebagai penanda bahwa intelektualitas dan kemuliaan tidak mengenal gender. Ia adalah putri seorang pedagang kaya dari Tunisia yang hijrah ke Fez, Maroko, pada abad ke-9. Namun Fatimah tak memilih hidup dalam gemerlap kekayaan semata. Ia memilih membangun rumah cahaya, tempat ilmu menetas, tumbuh, dan mekar yaitu Universitas Al-Qarawiyyin, lembaga pendidikan tertua di dunia yang masih beroperasi hingga hari ini.
Fatimah bukan akademisi dalam arti formal, namun hatinya sangat mencintai ilmu. Ketika warisan besar dari ayahnya jatuh ke tangannya, ia tidak memakainya untuk memuaskan keinginan duniawi. Ia membangun masjid yang kemudian berkembang menjadi pusat ilmu, tempat para ulama, filsuf, dokter, dan cendekiawan dari berbagai negeri datang dan menetap. Ia tak hanya mewariskan bangunan, tetapi juga semangat untuk terus belajar, terus bertanya, terus mencari kebenaran.
Bayangkan, seorang perempuan Arab pada abad ke-9, ketika banyak tempat di dunia bahkan belum mengenal sekolah formal, justru mendirikan universitas yang menjadi mercusuar ilmu selama lebih dari 1.200 tahun. Di saat banyak peradaban membatasi peran perempuan hanya di dapur dan kamar, Fatimah menorehkan sejarah dari ruang peradaban: aula kuliah, perpustakaan, dan mimbar ilmu.
Al-Qarawiyyin bukan hanya sekolah, ia adalah simbol. Simbol bahwa dalam Islam, perempuan tidak dikekang oleh keterbatasan, tetapi diberi ruang untuk menjadi pelita. Bahwa yang membedakan manusia bukan jenis kelaminnya, tapi niat, ilmu, dan amalnya. Fatimah al-Fihri membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi muassisah (pendiri), bukan hanya pengikut; pembangun, bukan hanya penerima.
Dalam diam dan tanpa ambisi politik, Fatimah menunjukkan bahwa perubahan bisa dimulai dari tangan yang tulus. Ia tidak berteriak soal emansipasi, tapi langkahnya lebih keras dari seribu pidato. Ia tidak mengaku aktivis perempuan, namun karyanya telah mengangkat martabat jutaan perempuan hingga hari ini. Di balik jilbab dan keheningan ibadahnya, tersembunyi keberanian seorang pembaru.
Sejarah mencatat bahwa Al-Qarawiyyin menjadi tempat belajar tokoh besar seperti Ibn Khaldun, Maimonides, Ibn al-'Arabi, bahkan beberapa sejarawan menyebut bahwa tokoh-tokoh Eropa seperti Gerbert d’Aurillac (Paus Silvester II) belajar dari sana dan membawa ilmunya ke benua Barat. Apa yang ditanam oleh Fatimah al-Fihri telah melintasi benua, zaman, dan agama.
Yang membuat kisah Fatimah begitu abadi bukan hanya karena ia seorang perempuan pendiri universitas, tapi karena ia mengajarkan dunia bahwa sedekah paling tinggi adalah sedekah ilmu. Ia memberi tidak hanya kepada satu orang, tetapi kepada generasi demi generasi. Ia memberi bukan hanya roti, tetapi cahaya yang membuat roti itu bisa diperoleh dengan martabat.
Dalam peradaban hari ini, ketika universitas kadang terjebak pada angka, ranking, dan formalitas akademik, semangat Fatimah mengajak kita kembali pada niat yang murni: membangun manusia. Bukan hanya mencetak sarjana, tetapi melahirkan jiwa-jiwa merdeka yang menjunjung ilmu sebagai jalan penghambaan.
Fatimah al-Fihri adalah bukti nyata bahwa kontribusi terbesar tidak selalu datang dari mereka yang berkuasa, tapi dari mereka yang tulus. Ia tidak menunggu amanat, tidak berharap sorotan. Ia hanya percaya bahwa ilmu adalah jembatan menuju peradaban, dan membangun jembatan itu adalah bagian dari ibadah yang tak terputus.
Hari ini, jika kita belajar di ruang kelas, berdiskusi di perpustakaan, atau menulis di jurnal ilmiah, jangan lupa bahwa sejarah peradaban pendidikan pernah dimulai dari mimpi seorang perempuan salehah bernama Fatimah al-Fihri, perempuan yang tidak hanya membangun universitas, tetapi juga membangkitkan dunia.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.