Di dunia yang dipenuhi spekulasi dan dogma, Ibnu Al-Haytham hadir sebagai lentera. Ia tidak sekadar menyalakan obor pengetahuan, tapi menyinari jalan metode ilmiah yang hari ini menjadi dasar penelitian modern. Ia mengajarkan kita bahwa cahaya bukan hanya tentang melihat, tapi tentang memahami.
Lahir di Basra pada abad ke-10 M, Abu Ali al-Hasan ibn al-Haytham dikenal di Barat sebagai Alhazen. Di masa ketika sebagian ilmuwan hanya mengandalkan teori tanpa pembuktian, Ibnu Al-Haytham memilih jalan yang berbeda, yaitu eksperimen. Ia mematahkan pendapat kuno yang mengatakan mata memancarkan cahaya ke objek dan justru membuktikan bahwa cahaya masuk ke mata, bukan sebaliknya.
Temuannya ini dituangkan dalam karya besarnya Kitab al-Manazir (Book of Optics), yang kelak menjadi rujukan para ilmuwan Eropa selama berabad-abad. Newton, Kepler, dan Descartes berdiri di atas pundaknya. Bahkan kamera, mikroskop, hingga teleskop, tak mungkin lahir tanpa fondasi optik yang ia bangun.
Tapi kontribusinya tak berhenti di cahaya. Ia juga menulis tentang astronomi, matematika, dan psikologi. Ia meneliti bayangan, pembiasan cahaya, dan prinsip lensa, semuanya dilakukan dengan ketelitian dan eksperimen yang luar biasa. Ia tidak hanya percaya pada akal, tapi juga menghormati proses.
Ibnu Al-Haytham adalah sosok yang mengajarkan bahwa kebenaran ilmiah harus diuji, bukan diwarisi. Bahwa penglihatan fisik bukan jaminan, jika tidak disertai penglihatan akal. Betapa dunia berutang padanya. Tanpa Ibnu Al-Haytham, tak akan ada revolusi optik, tak akan ada kamera yang menangkap wajah kita, tak akan ada teleskop yang mengintip langit, atau mikroskop yang membuka rahasia sel.
Dialah bukti bahwa ilmu dan iman bisa bersatu dalam satu jiwa. Bahwa dari kegelapan zaman bisa lahir cahaya peradaban. Dan hari ini, di balik tiap layar yang kamu tatap, ada warisan ilmu dari lelaki yang dahulu menatap cahaya bukan dengan mata saja, tapi dengan keyakinan dan ketekunan.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.