Di tengah riuhnya dunia yang semakin materialistik, nama Abu Nasr Al-Farabi mungkin terdengar sunyi. Tapi dari kesunyian itulah ia menyalakan cahaya. Ia bukan raja, bukan panglima, bukan saudagar besar. Ia hanyalah seorang pemikir yang memandang dunia dengan kedalaman luar biasa, mencari harmoni antara akal, etika, dan keteraturan semesta.
Lahir di Farab (sekarang Kazakhstan) pada abad ke-9, Al-Farabi adalah pemikir besar yang dijuluki "Guru Kedua" setelah Aristoteles oleh para filsuf Muslim. Ia menguasai filsafat Yunani, logika, matematika, musik, dan politik, namun ia tidak menelannya mentah. Ia mencerna, menyaring, lalu menulis ulang dengan ruh Islam dan visi kemanusiaan yang lebih dalam.
Al-Farabi percaya bahwa akal dan wahyu bukan dua jalan yang saling meniadakan, melainkan dua sayap yang bisa membawa manusia menuju kebahagiaan sejati. Baginya, filsafat bukan sekadar berpikir, tetapi juga mencari cara agar manusia hidup baik sebagai individu dan sebagai masyarakat. Dalam pemikirannya tentang negara utama (al-Madinah al-Fadhilah), ia membayangkan sebuah tatanan sosial yang dipimpin oleh seorang pemimpin ideal yang memadukan hikmah, akhlak, dan visi ilahiah.
Ia menulis tentang bagaimana logika bekerja, bagaimana musik menyentuh jiwa, bagaimana bahasa bisa membentuk realitas. Bukunya tentang logika menjadi rujukan utama dunia Islam selama berabad-abad. Bahkan, dunia Barat banyak belajar dari tulisannya sebelum mengenal logika formal secara utuh. Ia mengajarkan bahwa berpikir benar adalah prasyarat untuk hidup benar.
Namun, Al-Farabi tidak hanya sibuk dengan metafisika dan teori. Ia menyusun sistem klasifikasi ilmu, yang kelak menjadi dasar kurikulum di banyak madrasah dan universitas. Ia juga menulis tentang etika, psikologi, dan kebahagiaan manusia. Ia percaya bahwa ilmu pengetahuan tidak cukup tanpa kebijaksanaan, dan kebijaksanaan tidak cukup tanpa keadilan.
Yang menarik, ia juga seorang ahli musik. Dalam bukunya Kitab al-Musiqa al-Kabir, ia menulis teori musik yang rumit, lengkap dengan hubungan nada dan emosi manusia. Baginya, musik bukan hiburan, melainkan jembatan spiritual yang bisa menyelaraskan hati manusia dengan ritme alam dan hukum Tuhan.
Dalam sejarah Islam, Al-Farabi adalah contoh cemerlang bahwa seorang Muslim bisa menjadi filsuf tanpa kehilangan iman. Bahwa berpikir kritis bukan musuh dari keberagamaan, justru jalan menuju ketauhidan yang lebih dalam. Ia membuktikan bahwa menjadi cendekiawan berarti merendahkan diri di hadapan kebesaran ciptaan Allah, dan menolak kedangkalan berpikir.
Tanpa Al-Farabi, filsafat Islam mungkin tak pernah mencapai ketinggiannya. Ia membuka jalan bagi Ibnu Sina, Ibnu Rushd, dan pemikir-pemikir besar lainnya. Ia adalah jembatan antara hikmah Yunani dan hikmah wahyu. Tanpa dia, Eropa tak akan mengenal logika seperti yang diajarkan di universitas-universitas Renaissance.
Kita hidup di dunia yang dipenuhi kebisingan, namun sering kehilangan arah. Al-Farabi adalah teladan bahwa kesunyian yang diisi dengan ilmu dan perenungan bisa menciptakan suara yang bergema sepanjang zaman. Ia tidak berteriak, tapi pikirannya menggema. Ia tidak memaksa, tapi logikanya menuntun.
Maka di tengah hiruk-pikuk zaman ini, kita perlu kembali menengok sosok seperti Al-Farabi. Bukan hanya untuk mengetahui siapa dia, tapi untuk bertanya dalam hati, apakah kita masih punya keberanian untuk berpikir jernih, hidup bijak, dan menulis jejak seperti yang ia tinggalkan?
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.