Dalam beningnya renungan malam, ketika dunia terlelap dalam sunyi, jiwa manusia masih berdenyut dalam pencarian. Seperti aliran sungai yang tak pernah letih menuju muara, begitu pula hati insan, mengalir mendaki menuju puncak kebutuhan yang tak sekadar jasmani, namun ruhani. Segitiga Maslow, sebagaimana para ahli menyebutnya, bukan sekadar tatanan teori, melainkan cermin dari fitrah manusia yang dicipta dalam kesempurnaan dan kelemahan.
Di dasar piramida itu, terhampar kebutuhan yang paling mendesak: makan, minum, dan udara untuk bernapas. Seperti sabda Rasulullah, “Barangsiapa di pagi hari merasa aman dalam rumahnya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seolah dunia telah dikumpulkan untuknya.” Bukankah nikmat ini sering luput dari syukur? Padahal ia adalah pondasi dari segalanya.
Kemudian, manusia merangkak naik, mendambakan rasa aman. Aman dari rasa takut, aman dari kekerasan, aman dari ketidakpastian. Maka Allah menurunkan ayat-ayat-Nya sebagai pelindung: “Barang siapa yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman, mereka itulah yang akan mendapatkan rasa aman.” (QS. Al-An’am: 82). Rasa aman sejati rupanya hanya lahir dalam pelukan iman.
Lalu hati berdesir dalam kesepian, mendambakan cinta dan rasa memiliki. Kebutuhan akan kasih, keluarga, dan pertemanan. Maka Dia menciptakan pasangan, keluarga, dan ukhuwah. Rasulullah bersabda, “Tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” Cinta, dalam Islam, bukan hanya rasa, tapi ikatan yang menguatkan ruh.
Manusia terus mendaki. Ia ingin dihargai, ingin diakui keberadaannya. Ingin merasa berarti. Tapi Islam mengajarkan bahwa kemuliaan bukan pada status, melainkan pada takwa. “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13). Maka pengakuan tertinggi bukan dari manusia, tapi dari Rabb yang Maha Mengetahui isi hati.
Dan puncaknya adalah aktualisasi diri, ketika seorang hamba ingin menjadi versi terbaik dari dirinya, menunaikan amanah kehidupannya. Namun dalam pandangan langit, aktualisasi tertinggi adalah ketika manusia mengenal Tuhannya. Bukankah Allah berfirman: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Maslow berhenti di puncak itu, namun ruhani tak mengenal batas dunia. Islam melampaui hierarki itu menuju maqam-maqam ihsan. Ketika seorang hamba beribadah seakan melihat Allah. Di sinilah kebutuhan jiwa mencapai cahaya: bukan sekadar menjadi ‘seseorang’, tapi menjadi hamba yang dekat dengan Sang Pencipta.
Dalam doa-doa yang lirih di malam hari, manusia menemukan puncak tertingginya. Di sana tak lagi disebut kebutuhan, melainkan kerinduan. Rindu akan ampunan, akan rahmat, akan surga-Nya. Sebuah kerinduan yang menggerakkan setiap langkah, meneteskan air mata, dan menundukkan ego yang selama ini begitu lantang.
Hierarki itu pun berubah menjadi tangga spiritual. Setiap anak tangganya bukan sekadar tahapan psikologi, tapi stasiun ruhani. Dan dalam tiap pendakian itu, Allah membersamai. “Dan apabila hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat.” (QS. Al-Baqarah: 186). Kedekatan yang melampaui pemahaman akal.
Maka benarlah, bahwa hidup ini bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan, tapi tentang mengenal tujuan. Segitiga Maslow hanyalah peta duniawi, namun jalan menuju ridha Allah adalah peta akhirat. Dan hanya mereka yang mendaki dengan iman dan sabar, yang akan sampai di puncak sejati: surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, tempat segala kebutuhan luluh dalam kenikmatan abadi.
Author : Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd.