Dalam dunia pendidikan, kita seringkali terjebak dalam bayang-bayang target kurikulum. Kita menyusun rencana belajar berdasarkan apa yang seharusnya dicapai, bukan berdasarkan apa yang sebenarnya dimiliki murid. Akibatnya, proses pembelajaran menjadi seperti kereta cepat yang hanya akan mengantar sebagian kecil penumpang, sementara sisanya tertinggal jauh di belakang, diam-diam kehilangan arah dan harapan. Di sinilah Teaching at the Right Level (TaRL) menjadi panggilan untuk kembali melihat murid secara manusiawi.
TaRL adalah pendekatan pedagogi yang menekankan pentingnya mengajar murid sesuai dengan tingkat kesiapan belajar mereka, bukan sekadar berdasarkan kelas atau usia. Pendekatan ini mengajak guru untuk terlebih dahulu mengidentifikasi kemampuan dasar murid secara akurat, lalu menyusun aktivitas pembelajaran yang relevan dan terjangkau, hingga kemampuan itu berkembang secara bertahap. Ini bukan pendekatan “menurunkan standar”, melainkan mengakar pada realitas untuk menumbuhkan secara lebih kokoh.
Inti dari TaRL adalah kesadaran bahwa murid datang ke kelas bukan dengan kemampuan yang sama. Bahkan dalam satu kelas pun, rentang kemampuan literasi atau numerasi bisa sangat lebar. Guru yang sadar akan hal ini tidak memaksakan keseragaman, tetapi justru membangun keberagaman sebagai fondasi pendekatan belajar. Inilah bentuk kasih guru yang tidak menghakimi, tetapi memahami dan menyesuaikan.
Pendekatan TaRL menggabungkan observasi, asesmen formatif sederhana, dan respons pedagogis yang cepat dan fleksibel. Guru menjadi pengamat yang peka, bukan sekadar pengajar. Proses belajar dirancang seperti menyusun jembatan dari satu tepi ke tepi lainnya, tidak langsung melompat, tapi disusun berdasarkan pijakan yang sudah dimiliki murid. Dalam praktiknya, ini bisa berupa pengelompokan fleksibel, modul bertingkat, hingga aktivitas yang disesuaikan dengan level literasi aktual.
Namun, lebih dari sekadar strategi teknis, TaRL memerlukan kehadiran guru secara mindful. Guru dituntut hadir utuh mengamati tanpa prasangka, mendengar dengan empati, dan memberi umpan balik dengan harapan yang realistis namun menggugah. Ini adalah proses psikologis yang dalam meninggalkan ego pengajar, dan masuk ke ruang batin murid sebagai pendamping yang tahu kapan harus mendorong, dan kapan cukup menemani.
Dalam konteks Kurikulum Merdeka, TaRL menjadi sangat relevan karena mendukung diferensiasi dan fleksibilitas. Kurikulum ini memberi ruang lebih luas untuk guru menyusun alur belajar berdasarkan potensi dan kebutuhan individu, bukan semata mengikuti silabus nasional. Di sinilah TaRL menjelma bukan hanya metode, tetapi filosofi: bahwa setiap anak berhak untuk tumbuh dari tempat di mana mereka berpijak, bukan dari tempat yang orang dewasa harapkan.
MJ-Edutech pun mulai menerapkan prinsip TaRL dalam bentuk learning path bertingkat, di mana media ajar disusun berdasarkan diagnosis awal kemampuan siswa. Anak tidak langsung dihadapkan pada soal atau konsep yang jauh di atas kemampuannya, tetapi diberi ruang untuk memperkuat fondasi terlebih dahulu, dengan tampilan media yang menyenangkan, ramah, dan tidak mengintimidasi.
TaRL juga mendorong pemberdayaan guru melalui pelatihan yang reflektif. Guru tidak sekadar belajar teknik asesmen, tetapi juga belajar melihat kembali cara pandangnya terhadap anak. Apakah kita benar-benar percaya bahwa anak akan tumbuh bila dirangsang dengan cara yang sesuai? Ataukah kita masih terpaku pada ekspektasi hasil instan? TaRL menantang kita untuk meredefinisi makna keberhasilan dalam pendidikan: bukan pada kecepatan capaian, tetapi pada kedalaman proses tumbuh.
TaRL bukan sekadar alat untuk mengatasi ketertinggalan, tetapi strategi jangka panjang untuk menciptakan ekosistem belajar yang adil, inklusif, dan memberdayakan. Di sinilah murid merasa dikenali, bukan sekadar dinilai, didampingi, bukan diabaikan. Dan saat murid merasa dilihat secara utuh, rasa aman dan motivasi belajar akan muncul dengan sendirinya, mereka belajar bukan karena takut, tapi karena merasa mampu dan dihargai.
Akhirnya, Teaching at the Right Level adalah bentuk paling mendasar dari cinta seorang guru. Cinta yang tidak menuntut anak menjadi versi ideal, tetapi membantu mereka menjadi versi terbaik dari dirinya yang sekarang. Sebab, pendidikan bukan tentang siapa yang tercepat sampai garis akhir, tapi tentang siapa yang tumbuh dengan cara yang paling sesuai dan penuh makna.
Author: Marta Jaya,S.Pd.,M.Pd